KORANMANDALA.COM – Namanya Kartini. Bukan sekadar kebetulan, tapi seolah takdir sengaja menempatkannya pada jalan hidup yang menuntut keberanian, ketabahan, dan cinta yang tak pernah putus.
Entin Kartini, 45 tahun, setiap hari memacu sepeda motor tuanya menyusuri jalanan Bandung, membawa serta beban hidup dan harapan dua anaknya yang menjadi pusat semesta.
Dulu, tangannya akrab dengan aroma basil dan oregano. Ia pernah berdiri di balik dapur sebuah restoran Italia di Bandung menata rasa, mengatur ritme masak, dan memastikan tamu pulang dengan senyum.
Warga Tasikmalaya Bersiap, Persib Store Akan Buka Gerai Yang Dihadiri Dua Bintang
Tapi hidup, dengan cara yang tak selalu dapat diterka, menuntunnya keluar dari dapur itu. Kini ia menata ulang hidupnya dari atas motor, mengenakan jaket hijau, dan menggantung doa pada setiap perjalanan sebagai ojek online.
Di antara terik yang membakar, hujan yang datang tiba-tiba, dan jalanan kota yang sering tak bersahabat, Entin melaju. Ia tak pernah benar-benar berhenti, sebab berhenti berarti tak ada uang yang masuk.
“Penghasilan nggak tentu. Kadang 150 ribu, kadang 200, paling kecil 100 ribu. Alhamdulillah selalu ada. Namanya kerja harian, kalau berhenti berarti nggak ada uang,” tuturnya, dengan senyum yang justru menegaskan keteguhannya.
Ia sempat mencoba layanan pesan makanan daring. Tetapi beberapa kali menjadi korban penipuan membuatnya kembali pada kemudi motor jalan yang lebih pasti meski tetap penuh tantangan.
Namun, dari hidup yang serba terbatas itu, Entin menyelipkan satu keyakinan: pendidikan anak-anaknya tak boleh putus.
Anak sulungnya kini sudah lulus kuliah, terbantu beasiswa penuh dari desa, lengkap dengan uang saku.
Entin dan suaminya yang juga bekerja sebagai pengemudi ojek online mengurus sisanya. Sementara anak bungsunya masih duduk di bangku sekolah dasar, menunggu kepulangan ibunya setiap sore, meski sering mendengar deru motor terlebih dahulu.
“Dulu waktu yang pertama kuliah, saya yang nganter-jemput tiap hari,” kenangnya. Bukan keluhan yang keluar, melainkan rasa bangga yang diam-diam mengalir.
Di rumah, Entin dan suaminya berbagi peran. Bukan hanya soal mencari uang, tapi juga menopang semangat satu sama lain.
“Kerja bareng suami buat kebutuhan rumah dan sekolah anak. Alhamdulillah ada aja rezekinya,” ujarnya, lembut namun penuh keyakinan.
Di balik tubuh mungil dan suara halusnya, tersimpan pesan yang tajam bagi perempuan lain yang menggantungkan hidup pada jerih payah sendiri.
“Semangat terus. Walaupun punya suami, kita nggak pernah tahu apa yang terjadi ke depan. Kalau ditinggal, kalau suami nggak ada, kita harus sudah siap,” katanya, menegaskan bahwa ketegaran perempuan bukanlah pilihan, melainkan keharusan.
Perjalanan Entin Kartini adalah kisah tentang bertahan, melawan keadaan, dan mencintai keluarga dengan cara yang paling sunyi tapi paling nyata.
Setiap kilometer yang ia tempuh adalah bentuk lain dari perjuangan perjuangan yang membuat nama Kartini itu terasa hidup kembali. Dan selama roda motornya terus berputar, harapan itu akan terus menyala. (Sarah)






