KoranMandala.com – Kota Bandung kini menyandang gelar yang tak diinginkan: kota termacet nomor satu di Indonesia dan peringkat ke-12 di dunia menurut TomTom Traffic Index 2024.
Dengan rata-rata waktu tempuh 32 menit 37 detik untuk jarak 10 kilometer, warga Bandung kehilangan lebih dari 108 jam produktif setiap tahun hanya karena terjebak macet.
Di balik statistik yang mencemaskan, ada salah satu aplikasi dengan pendekatan teknologi yang khusus mendata statistik lalu lintas kota besar di dunia, yaitu Tomtom. TomTom, perusahaan global asal Belanda yang dulu dikenal lewat GPS mobil, kini menjadi pemain dalam solusi mobilitas berbasis data dan kecerdasan buatan.
LIPSUS: Pengamat ITB Tawarkan Solusi Atasi Kemacetan Bandung, dari Smart Transport hingga TOD
TomTom bukan sekadar penyedia peta digital. Melalui platform seperti Orbis Maps, perusahaan ini memungkinkan integrasi data terbuka seperti OpenStreetMap dengan data milik TomTom sendiri, menciptakan peta yang bisa disesuaikan untuk kebutuhan kota, bisnis, dan pengembang.
TomTom Perangkat Navigasi All-in-one
TomTom didirikan pada tahun 1991 di Amsterdam dengan nama awal Palmtop Software, berfokus pada pengembangan perangkat lunak untuk komputer genggam.
Perusahaan ini mulai dikenal luas setelah meluncurkan TomTom GO Offline Maps pada tahun 2004—perangkat navigasi all-in-one pertama di dunia yang mengubah cara orang berkendara.
Seiring waktu, TomTom berevolusi dari produsen GPS konsumen menjadi pemimpin teknologi lokasi global, menyediakan data lalu lintas real-time, peta berpresisi tinggi, dan solusi untuk kendaraan otonom.
Tele Atlas diakuisisi oleh TomTom
Tele Atlas adalah perusahaan asal Belanda yang didirikan pada tahun 1984 dan bergerak di bidang sistem informasi geografis (GIS). Perusahaan ini menyediakan data pemetaan digital dan konten dinamis untuk berbagai layanan navigasi dan lokasi, termasuk sistem navigasi pribadi dan kendaraan, serta aplikasi peta di internet dan perangkat mobile
Tele Atlas diakuisisi oleh TomTom melalui persaingan sengit yang mengubah lanskap industri pemetaan digital. Pada 23 Juli 2007, TomTom mengajukan tawaran awal sebesar €2 miliar untuk Tele Atlas, yang kemudian ditandingi oleh Garmin dengan tawaran €2,3 miliar.
TomTom merespons dengan menaikkan tawarannya menjadi €2,9 miliar, yang akhirnya disetujui oleh dewan direksi Tele Atlas. Akuisisi ini resmi selesai pada Juni 2008 setelah mendapat persetujuan pemegang saham dan Komisi Eropa.
Akuisisi TeleAtlas oleh TomTom pada 2008, memperkuat posisi TomTom sebagai pembuat peta independen dengan cakupan global.
Dengan akuisisi ini, TomTom dapat mengintegrasikan perangkat GPS-nya dengan data peta milik Tele Atlas, memperkuat posisinya di pasar navigasi dan mengurangi ketergantungan pada penyedia peta pihak ketiga.
TomTom vs Google Maps: Navigasi dengan Filosofi Berbeda
Meski sama-sama menawarkan layanan peta dan navigasi, TomTom dan Google Maps memiliki pendekatan yang berbeda. Google Maps mengandalkan data crowdsourced dari miliaran pengguna dan terintegrasi dengan ekosistem Google seperti Search dan Street View.
Sementara itu, TomTom menekankan pada akurasi dan kontrol data, menggunakan sumber data milik sendiri dan mitra resmi, terutama di Eropa.
TomTom juga unggul dalam navigasi offline dan fitur seperti IQ Routes dan Advanced Lane Guidance, yang dirancang khusus untuk pengemudi dan industri otomotif.
Google Maps lebih cocok untuk penggunaan umum dan transportasi publik, sedangkan TomTom lebih fokus pada solusi mobilitas profesional dan enterprise.
TomTom memberikan solusi kemacetan melalui pendekatan berbasis data yang komprehensif dan metodologi yang transparan.

Metodologi Pengumulan Data
Dengan mengumpulkan data dari lebih dari 600 juta perangkat terhubung secara anonim, TomTom menganalisis pola perjalanan, kecepatan rata-rata, dan titik kemacetan melalui fitur seperti Origin-Destination Analysis, Junction Analytics, dan Traffic Stats.
Data ini kemudian digunakan untuk memetakan waktu tempuh rata-rata per 10 km, tingkat kemacetan, dan waktu yang hilang saat jam sibuk.
Metodologi ini memungkinkan pemerintah kota, perencana transportasi, dan pengembang aplikasi untuk membuat keputusan berbasis bukti—mulai dari penyesuaian lampu lalu lintas hingga desain rute transportasi publik yang lebih efisien.
Solusi Kemacetan Berbasis Data
TomTom menganalisa trafik, menawarkan solusi berbasis data yang mungkin bisa diterapkan di Kota Bandung:
| Masalah Kota Bandung | Solusi TomTom |
| Kemacetan di titik padat | Traffic Analytics & Junction Analysis |
| Minimnya transportasi publik | Routing API untuk BRT dan angkot |
| Kurangnya koordinasi antarwilayah | Orbis Maps untuk integrasi regional |
Orbis Maps adalah platform pemetaan digital generasi terbaru dari TomTom yang menggabungkan data terbuka (OpenStreetMap, Overture Maps Foundation) dan data eksklusif TomTom.
Routing API adalah layanan dari TomTom yang memungkinkan pengembang aplikasi untuk menghitung rute perjalanan secara akurat berdasarkan kondisi lalu lintas real-time, jenis kendaraan, dan preferensi pengguna.
BRT (Bus Rapid Transit ) adalah sistem transportasi publik berbasis bus yang dirancang agar lebih cepat, efisien, dan berkapasitas tinggi dibandingkan bus konvensional.
Dengan teknologi seperti Model Context Protocol Server, TomTom juga membuka jalan bagi integrasi data lalu lintas dengan agen AI, memungkinkan pengambilan keputusan otomatis dalam pengaturan lalu lintas dan penjadwalan transportasi.

TomTom Telah menjalin kemitraan strategis di Berbagai kota
TomTom telah menjalin kemitraan strategis dengan berbagai kota dan lembaga pemerintah di seluruh dunia untuk meningkatkan efisiensi transportasi dan keselamatan jalan.
Di Timur Tengah, TomTom bekerja sama dengan THTC untuk menyediakan data lalu lintas real-time yang membantu otoritas lokal mengelola arus kendaraan selama acara besar dan hari-hari sibuk.
Di Jerman, TomTom berkolaborasi dengan Autobahn GmbH dan PTV Group untuk mendukung pengawasan terpusat atas jaringan jalan raya nasional, menggunakan analisis lalu lintas dan data historis guna meningkatkan keselamatan dan efisiensi transportasi.
Kota Bandung: Sebuah Potret Krisis Mobilitas
Kemacetan di Bandung bukan sekadar masalah jalan sempit atau volume kendaraan tinggi. Menurut pakar transportasi dari Itenas, Dr. Andrean Maulana, kemacetan Bandung adalah “paket lengkap” dari kegagalan tata kelola transportasi.
Infrastruktur stagnan, transportasi publik yang tak efisien, dan minimnya koordinasi antarwilayah membuat mobilitas warga terhambat.
“Weekday ramai, weekend makin ramai. Jadi macet di Bandung itu permanen. Positif karena ekonomi jalan, tapi negatif karena tata kelola mobilitas tidak mampu mengimbangi,” ujar Andrean.
Data Dishub Jawa Barat menunjukkan penggunaan transportasi publik di Bandung kini di bawah 10%. Warga lebih memilih kendaraan pribadi karena angkutan umum dianggap tidak dapat diandalkan.
Lipsus : Bandung Jadi Kota Termacet, Cermin Gagalnya Tata Kelola Transportasi
Perlunya Komitmen Politik, Penegakan Hukum dan Partisipasi Warga Kota
Pemerintah merespons dengan rencana pembangunan Jalan Tol Dalam Kota Bandung senilai Rp8,3 triliun dan proyek LRT Bandung Raya yang ditargetkan mulai 2027.
Namun, banyak pihak meragukan efektivitasnya jika tidak dibarengi dengan penegakan hukum, perubahan perilaku, dan perbaikan layanan transportasi publik.
Predikat “kota termacet” seharusnya menjadi alarm, bukan sekadar statistik. Jika dikelola dengan serius, data dari TomTom bisa menjadi fondasi transformasi mobilitas Bandung.
Namun, tanpa komitmen politik, penegakan hukum, dan partisipasi warga, teknologi secanggih apa pun tak akan mampu mengurai simpul kemacetan.
Bandung bisa belajar dari Jakarta yang mulai membaik berkat MRT, LRT, dan jalur carpooling (berbagi tumpangan). Kini saatnya Bandung beralih dari wacana ke aksi. ***






