Praktisi pertanian berkelanjutan dari komunitas Seni Tani Fathan, menambahkan bahwa setiap lubang banana circle dengan kedalaman 1 meter dan diameter 2 meter, mampu menghasilkan hingga 120 kilogram pupuk kompos dalam waktu 1–2 bulan.
“Kalau dilakukan bersama, manfaatnya sangat besar. Petani bisa hemat biaya pupuk, dan lingkungan tidak lagi penuh sampah. Ini bisa diterapkan juga di kebun-kebun warga,” jelas Fathan.
Lebih dari itu, sistem ini juga menjadi bagian dari upaya meningkatkan ketahanan pangan desa, karena setiap pekarangan bisa menjadi sumber produksi pangan dan penghasilan tambahan.
Kepala Seksi Pemerintahan Desa Padasuka, Dadang Kusmawan, menyambut baik program ini. Ia menilai banana circle sebagai solusi yang praktis dan potensial, terutama karena desa mereka belum memiliki Tempat Pembuangan Sementara (TPS) yang memadai.
“Kita sangat terbantu, tinggal bagaimana warga nanti bisa terlibat aktif. Kita akan dorong sosialisasi lanjutan. Apalagi kalau pisang dari sini bisa diolah jadi pisang sale, yang memang sudah dikenal di wilayah ini,” tutur Dadang.
Program pengabdian masyarakat ITB ini menjadi potret sinergi antara kampus, warga, dan pemerintah desa. Tak hanya soal teknis pengelolaan sampah, tapi juga bagaimana mengubah cara pandang warga terhadap pekarangan dan limbah rumah tangga.
Jika berhasil diterapkan secara berkelanjutan, Desa Padasuka bisa menjadi percontohan bagaimana teknologi sederhana bisa mengubah masalah menjadi berkah, dari sampah menjadi pupuk, dari pekarangan menjadi ladang pangan.***






