Koran Mandala – Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Marthinus Hukom menyatakan bahwa pihaknya tengah melakukan riset mendalam mengenai potensi penggunaan ganja untuk kepentingan medis. Penelitian ini dilakukan atas dorongan masyarakat yang disampaikan melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan saat ini BNN bekerja sama dengan sejumlah institusi, salah satunya Universitas Udayana di Bali.
“Kami sedang mengkaji dari berbagai aspek—kesehatan, moral, hingga ekonomi. Semuanya harus menjadi landasan dalam penelitian ini,” ujar Marthinus usai memberikan kuliah umum di Universitas Udayana, Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali, Selasa (15/7), dikutip dari CNN Indonesia.
Polres Garut Bekuk Dua Pengedar Ekstasi dan Ganja, Barang Bukti Senilai Puluhan Juta Diamankan
Pernyataan Marthinus tentu ditanggapi berbeda oleh publik. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Ada baiknya kita menelususri sejarah penggunaan ganja sebagai obat sebagai tambahan wawasan.
Selama ribuan tahun, ganja (Cannabis sativa) telah digunakan oleh berbagai peradaban sebagai tanaman yang memiliki nilai medis, spiritual, dan industri. Jauh sebelum menjadi objek kontroversi hukum di era modern, ganja telah menjadi bagian dari tradisi pengobatan kuno di banyak belahan dunia. Di abad ke-21, perhatian terhadap manfaat medis ganja kembali mencuat, menghidupkan perdebatan antara potensi penyembuhannya dan tantangan regulasi.
Jejak Ganja dalam Peradaban Kuno
Penggunaan medis ganja pertama kali tercatat dalam teks kuno dari Tiongkok sekitar 2700 SM, pada masa Kaisar Shen Nung yang disebut sebagai bapak pengobatan Tiongkok. Dalam Pen Ts’ao Ching, ganja disebut sebagai tanaman yang bermanfaat untuk mengobati rematik, malaria, dan gangguan sistem pencernaan.
Di India kuno, ganja dikenal sebagai “bhang” dan dipakai dalam praktik Ayurveda untuk mengobati insomnia, gangguan saraf, dan bahkan sebagai afrodisiak. Dalam kitab Atharvaveda, ganja dianggap sebagai salah satu dari “lima tanaman suci” yang diberikan untuk menyembuhkan dan menenangkan jiwa.
Sementara itu, di Mesir kuno, peneliti menemukan catatan ganja digunakan untuk mengobati peradangan dan wasir. Bahkan, bangsa Yunani dan Romawi kuno mengenal ganja sebagai tanaman yang dapat mengurangi sakit telinga, nyeri sendi, dan kejang.
Dari Dunia Islam ke Eropa
Dalam tradisi pengobatan Islam abad pertengahan, tokoh seperti Ibn Sina (Avicenna) menyebut ganja dalam Canon of Medicine sebagai bagian dari terapi herbal untuk berbagai gangguan, meski dengan peringatan terhadap efek psikoaktifnya. Penggunaan ganja juga dikenal luas dalam budaya Persia, Turki, dan Arab sebagai penenang atau analgesik.
Masuknya ganja ke Eropa terjadi melalui perdagangan lintas benua pada abad pertengahan dan kian berkembang di era kolonial. Di Inggris, pada abad ke-19, William Brooke O’Shaughnessy, seorang dokter yang bekerja di India untuk East India Company, mempopulerkan penggunaan ganja medis di kalangan dokter Barat setelah meneliti manfaatnya dalam mengobati kejang dan nyeri.
Ganja dalam Dunia Modern: Dari Legalisasi hingga Riset Klinis
Memasuki abad ke-20, persepsi terhadap ganja mulai berubah drastis, terutama karena dikaitkan dengan penyalahgunaan narkotika. Banyak negara, termasuk Indonesia, memasukkan ganja sebagai narkotika Golongan I yang dilarang untuk digunakan dalam pengobatan.
Namun, sejak 1990-an, riset-riset ilmiah menunjukkan bahwa senyawa aktif dalam ganja seperti THC (tetrahidrokanabinol) dan CBD (kanabidiol) memiliki manfaat signifikan untuk terapi penyakit kronis, seperti:
Epilepsi
Multiple sclerosis
Nyeri kanker
Gangguan kecemasan
Mual akibat kemoterapi
Kini, beberapa negara seperti Kanada, Jerman, Thailand, dan sejumlah negara bagian di AS telah melegalkan penggunaan ganja medis dengan pengawasan ketat. Di Thailand, misalnya, ganja diizinkan untuk penggunaan tradisional dan medis sejak 2022.
Ganja di Indonesia: Saat Tradisi dan Regulasi Bertemu
Di Indonesia, ganja dikenal dalam literatur kuno sebagai bagian dari jamu di daerah Aceh. Namun, penggunaannya dilarang total sejak berlakunya UU Narkotika. Meski demikian, beberapa aktivis, peneliti, dan orang tua pasien epilepsi berat mendorong agar pemerintah membuka ruang bagi riset medis terhadap ganja, seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain.
Meskipun masih menjadi perdebatan, semakin banyak suara akademik dan medis yang menilai bahwa penelitian ganja untuk keperluan pengobatan harus difasilitasi secara legal, ilmiah, dan bertanggung jawab.
Kembali ke Akar, Menuju Masa Depan
Ganja telah melintasi ribuan tahun sejarah umat manusia sebagai tanaman yang memiliki potensi medis dan spiritual, namun juga rentan disalahpahami. Memahami sejarah ganja sebagai obat adalah langkah penting untuk melihatnya tidak hanya dari sudut hukum, tetapi juga dari perspektif kesehatan publik, etika pengobatan, dan warisan pengetahuan tradisional.
Dengan pendekatan ilmiah dan regulasi yang bijak, mungkin sudah saatnya Indonesia — seperti nenek moyangnya dahulu — melihat ganja sebagai tanaman obat yang patut dikaji, bukan hanya ditakuti.






