Koran Mandala – Minggu malam, 13 Juli 2025, di tengah hiruk pikuk dunia maya, sebuah diskusi menarik bergulir dalam zoom meeting “Road to Indonesia International Conference on Anthroposophy” yang akan diselenggarakan di Bandung 30 Juli sampai 2 Agustus 2025 mendatang. Tema yang diusung begitu relevan, sekaligus mengundang tanya: “Mahasiswa Kita, Cerminan Kita. Ada Apa Dengan Mahasiswa Kita?”
Diskusi hangat ini menampilkan Roby Muhamad (Sosiolog Digital), Wisnu Wardhono (Dosen FE UNPAR) dan Tjokorda Gde Kerthyasa (Dosen Universitas Hindu Indonesia).
Acara ini dipandu oleh Kenny Dewi, Ketua Koordinator IICA 2025 yang juga salah satu dosen di Fakultas Ekonomi Unpar. Ia membuka diskusi dengan pertanyaan pemantik yang merenungkan peran krusial para pendidik di masa kini: “Refleksi Bersama Dosen Sebagai Pendamping Zaman.”
Salah satu narasumber, Roby Muhamad, Ph.D., seorang sosiolog Indonesia yang dikenal luas berkat keterlibatannya sebagai peneliti dalam Proyek Dunia Kecil (Small World Project). Beliau meraih gelar doktor pada tahun 2010 dari Departemen Sosiologi di Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat. Dengan bidang keahlian utama di jejaring sosial, dan latar belakang pendidikan fisika (penelitian tentang lubang hitam Stephen Hawking, teori string, dan teori-M) dari Institut Teknologi Bandung, Roby kini fokus pada pengembangan AkonLabs, sebuah lembaga riset nirlaba yang ia dirikan untuk berfokus pada aplikasi sains sosio-behavioral demi perubahan budaya. Dengan pemahaman mendalam tentang struktur dan dinamika masyarakat, Roby membuka pemaparannya dengan sebuah fakta yang cukup mengagetkan, seolah menarik kita semua untuk menilik kembali asumsi-asumsi lama tentang kebahagiaan. Ia merujuk pada riset global yang menunjukkan bahwa untuk kali pertama dalam sejarah, generasi muda kita, yaitu Gen Z, justru tidak merasa bahagia.
IICA 2025 di UNPAR Bandung: Kolaborasi Global & Anthroposophy untuk Kesejahteraan Berkelanjutan
Lebih lanjut, Roby Muhamad menyoroti sebuah hasil riset penting mengenai survei “flourishing” atau “wellness” (kebahagiaan) yang dilakukan di seluruh dunia, melibatkan sekitar 200.000 orang di berbagai negara, termasuk Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang penduduknya bisa disebut paling tumbuh atau paling bahagia, menempati peringkat pertama. Sebaliknya, Jepang berada di peringkat paling bawah dalam survei tersebut. Survei ini tidak hanya melihat wellness dari sisi material (kekayaan dan kesehatan) tetapi juga dari sisi makna, tujuan hidup, dan hubungan sosial budaya.
Bayangkan, kurva kebahagiaan yang biasanya berbentuk U – tinggi saat muda, menurun di usia paruh baya, lalu kembali naik di usia senja – kini seolah patah, menjadi garis yang cenderung menurun bagi mereka yang baru saja mekar. Cemas, sepi, depresi; tiga kata yang kini akrab menghantui usia muda. Sebuah ironi di tengah gemerlap era digital.
Gen Z dan Pergeseran Kebahagiaan di Era Digital
Mayoritas remaja, khususnya mahasiswa saat ini, memiliki kebingungan dalam menentukan masa depan. Hal ini terlihat jelas saat mereka dihadapkan pada pemilihan jurusan untuk kuliah. Disadari atau tidak, menjalani perkuliahan yang tidak sesuai dengan bakat dan potensinya dapat menimbulkan stres yang berujung pada gangguan kesehatan mental, pelarian ke media sosial hingga kecanduan dan overstimulasi digital, yang pada akhirnya memengaruhi keseharian mereka, termasuk proses belajar di kampus.
Lalu, Roby mulai mengurai benang merahnya. Mengapa ini terjadi? Ia menunjuk pada teknologi, khususnya gadget dan smartphone, sebagai aktor utama dalam drama sosial ini. Gen Z adalah generasi pertama yang tumbuh dan besar dengan perangkat-perangkat pintar ini sejak masa pubertas mereka.
“Kita semua tahu, komunikasi tatap muka itu layaknya tarian, ada ritme, ada giliran, ada timing”.
Tapi komunikasi online, kata Roby, seringkali asinkron. Kita bisa membalas pesan kapan saja kita mau, tidak ada keharusan untuk merespons secara langsung. Akibatnya, Gen Z, tanpa mereka sadari, kehilangan banyak “jam terbang” untuk melatih keterampilan sosial yang esensial, seperti membaca isyarat non-verbal, memahami jeda, atau bahkan sekadar mengerti kapan harus berbicara dan kapan harus diam. Pandemi COVID-19, dengan segala keterbatasan interaksi fisiknya, ibarat pupuk yang menyuburkan masalah ini.
Selanjutnya, Imitasi di Layar Kaca: Sebuah Perubahan Paradigma