Koran Mandala – Kebun Binatang Bandung (KBB) bukan sekadar tempat hiburan. Sejak didirikan pada 1933, kawasan ini telah menjadi pusat konservasi satwa, pendidikan hayati, serta ruang pelestarian seni budaya Sunda seperti pencak silat dan sisingaan. Namun, belakangan muncul kekhawatiran besar dari masyarakat adat menyusul isu alih fungsi lahan bonbin menjadi area komersial.
Menanggapi hal ini, Duta Sawala (Kesekjenan) Masyarakat Adat Jawa Barat, Eka Santosa, angkat bicara. Ia menilai polemik pengelolaan dan sengketa hukum yang melibatkan Pemerintah Kota Bandung dan sejumlah pihak telah mencederai nilai historis dan budaya yang melekat pada KBB.
“Kebun Binatang Bandung adalah warisan budaya, bukan aset dagang. Jangan sampai tempat ini berubah jadi hotel atau pusat perbelanjaan,” ujar Eka kepada redaski, Minggu 6 Juli 2025.
Menurut Eka, keberadaan KBB telah berkontribusi nyata terhadap pembentukan karakter generasi muda, serta sebagai ruang publik inklusif yang mempertemukan unsur edukasi, budaya, dan lingkungan. Ia juga menegaskan bahwa dalam sejarahnya, kawasan ini tidak hanya menjadi tempat rekreasi, tetapi juga pusat pertunjukan budaya lokal.
“Banyak nilai luhur yang ditanamkan dari tempat ini kepada anak-anak kita. Ini adalah jantung budaya Kota Bandung,” imbuhnya.
Lebih jauh, Eka mengungkap kekhawatiran bahwa konflik hukum atas pengelolaan KBB disusupi kepentingan segelintir pengusaha yang ingin mengalihfungsikan lahan menjadi kawasan komersial.
“Atas nama para Olot se-Jawa Barat, saya ingatkan: jangan tunggu kemarahan budaya meledak. Ada batas kesabaran kami,” tegasnya.
Eka pun mendesak Pemerintah Kota Bandung dan Pemprov Jawa Barat untuk segera memberikan kejelasan sikap dan komitmen untuk mempertahankan KBB sebagai ruang publik konservatif dan edukatif. Ia mengingatkan, jangan sampai kepentingan ekonomi jangka pendek merampas warisan budaya jangka panjang.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Pemkot Bandung terkait arah kebijakan pengelolaan bonbin ke depan. Namun desakan dari berbagai tokoh adat dan masyarakat sipil terus menguat agar kawasan yang sarat sejarah itu tetap dilindungi dan tidak dikomersialkan.
