Koran Mandala – Pernahkah Anda mendarat di Bandara Husein Sastranegara di Bandung? Atau sekadar melintasinya, melihat pesawat-pesawat bersiap lepas landas? Bagi saya, dan mungkin juga bagi Anda, sebuah bandara bukan cuma landasan pacu dan terminal. Ia adalah gerbang, penghubung, dan tak jarang, saksi bisu sejarah. Nah, di balik nama “Husein Sastranegara” yang gagah itu, tersimpan sebuah kisah yang jauh lebih dalam dan mengharukan daripada sekadar nama sebuah tempat. Ini adalah cerita tentang keberanian, pengorbanan, dan bagaimana sebuah nama bisa menjadi monumen abadi bagi seorang pahlawan.
Ketika “Andir” Menjadi Saksi Bisu Masa Lalu
Jauh sebelum kita mengenal nama Husein, bandara ini punya nama lain: Lapangan Terbang Andir. Dibangun oleh Belanda di awal 1920-an, tepatnya di kawasan Andir, sebelah barat Bandung, tempat ini awalnya adalah pangkalan militer. Bayangkan, pesawat-pesawat baling-baling pertama mendarat di sana, membawa pejabat kolonial, atau mungkin sesekali penerbang pemberani dari Eropa. Lokasinya yang strategis membuat Vliegveld Andir ini jadi titik vital di Jawa Barat, bahkan saat Jepang mengambil alih dan menyebutnya Vliegveld Bandoeng atau Maung.
Nama “Andir” sendiri, adalah contoh paling sederhana dari toponimi—ilmu yang menelisik asal-usul nama tempat. Ya, sesimpel itu. Nama Andir diambil dari nama daerahnya. Tapi, seperti yang akan kita lihat, di Indonesia, nama-nama tempat punya cerita yang jauh lebih kaya dan berlapis. Andir hanyalah babak pembuka dari sebuah narasi besar yang melibatkan darah dan air mata perjuangan.
Letnan Udara Husein Sastranegara
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, bumi pertiwi bergejolak. Para pejuang kita, dengan segala keterbatasan, bertekad merebut setiap jengkal tanah, setiap aset vital dari tangan penjajah. Termasuk, tentu saja, Lapangan Terbang Andir ini. Di tengah kancah perjuangan inilah, sosok Letnan Udara Husein Sastranegara muncul.
Lahir di Cianjur pada 29 November 1919, Husein ini bukan sembarang orang. Ia seorang pemuda cerdas, jebolan Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung. Tapi, panggilan hati untuk membela bangsa lebih kuat. Pada 12 Desember 1945, ia bergabung dengan Sekolah Penerbangan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di Yogyakarta. Bayangkan, di tengah keterbatasan dan ancaman, ia dan kawan-kawannya dengan gigih belajar mengendalikan pesawat, merintis angkatan udara yang kita banggakan sekarang. Husein Sastranegara adalah salah satu perintis AURI dengan nomor induk tentara udara 107. Dedikasinya begitu besar, termasuk saat ia terlibat dalam penerbangan-penerbangan percobaan vital di Tasikmalaya yang saat itu menjadi salah satu pangkalan udara darurat.
Namun, takdir memang kejam. Pada 26 September 1946, hanya setahun setelah kemerdekaan, Husein sedang melakukan latihan terbang operasional di Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta. Pesawat P-51 Mustang yang ia kemudikan mengalami kecelakaan. Di usia yang masih sangat muda, 27 tahun, Letnan Udara Husein Sastranegara gugur dalam tugas. Sebuah pengorbanan besar, demi tegaknya kedaulatan udara Indonesia.
Pemkot Bandung Dorong Pembukaan Kembali Bandara Husein, Tunggu Lampu Hijau dari Pemerintah Pusat
Selanjutnya, Ketika nama menjadi penghormatan abadi.






