Ketika Nama Menjadi Penghormatan Abadi
Pemerintah tak tinggal diam. Jasa dan pengorbanan Husein yang begitu besar dalam perintisan AURI dan perjuangan kemerdekaan, harus dikenang. Maka, pada 17 Agustus 1952 – bertepatan dengan ulang tahun Kemerdekaan RI – melalui Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma Nomor: 76/48/Pen.2/KS/52, nama Lapangan Terbang Andir resmi diubah menjadi Bandara Husein Sastranegara.
Ini adalah salah satu contoh bagaimana toponimi tidak hanya merekam geografi, tapi juga sejarah dan nilai-nilai luhur. Penggunaan nama pahlawan sebagai nama tempat, atau yang sering disebut hagionim, adalah cara sebuah bangsa mengabadikan perjuangan dan pengorbanan para pendahulunya. Lihat saja bandara-bandara lain di Indonesia: Halim Perdanakusuma di Jakarta, Adisutjipto di Yogyakarta, atau Abdulrachman Saleh di Malang—semuanya adalah nama pahlawan udara yang gugur. Nama-nama ini bukan sekadar plang penunjuk jalan atau bandara. Mereka adalah pengingat, bahwa kebebasan yang kita nikmati hari ini, ada harga yang harus dibayar.
Wali Kota Bandung Desak Pembukaan Kembali Bandara Husein Sastranegara untuk Penerbangan Komersial
Warisan yang Terus Bernafas
Sejak saat itu, Bandara Husein Sastranegara terus berevolusi. Dari pangkalan militer yang juga jadi pusat pendidikan AURI di masa-masa awal, bandara ini mulai membuka diri untuk penerbangan sipil komersial pada 1973. Sebuah transformasi fungsi yang dinamis, dari arena perang menjadi gerbang persahabatan dan perekonomian.
Kisah Bandara Husein Sastranegara adalah pengingat bahwa setiap nama di peta, setiap sudut kota, adalah selembar halaman dari buku sejarah bangsa. Dari Bandung yang sejuk, kita telah menyelami satu babak heroik.(FMA)
