Oleh:
Abah Yusuf Kabuyutan
TOTOPONG sebutan orang Sunda atau lebih dikenal dengan sebutan ikat kepala mulai dikenal sekitar tahun 1450 Masehi atau pada masa Kerajaan Pajajaran. Awalnya, totopong dikenakan untuk melindungi kepala dari panas terik dan sebagai identitas diri. Pada masa perang kemerdekaan, totopong digunakan sebagai identitas para pejuang. Pada era itu pula, totopong menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan Jepang.
Totopong juga menjadi simbol pemersatu dan pengobar semangat orang Sunda kala itu. Totopong merupakan ikat kepala terbuat dari kain polos atau kain batik. Ukuran kain pada umumnya sekitar 1 m2. Khusus totopong, memiliki ukuran setengah meter dan bentuk kain terbelah tengah secara diagonal atau sering disebut setengah iket.
Totopong biasanya memiliki motif batik khusus, misalnya batik kangkung, kumeli, sida mukti, kawung ece, seumat sahurun, giringsing, manyingnyong, katuncar mawur, kalangkang ayakan, dan porod, eurih. Sebagai masyarakat agraris, para leluhur Sunda memanfaatkan totopong sebagai pelindung dari sengatan matahari dan gangguan hewan saat bekerja di sawah.
Budaya Sunda Kian Tersisih, Muhamad Syahlevi Minta Dinas Terkait Buat Terobosan
“Fungsi totopong sebagai simbol identitas diri dilihat dari pola mengikatnya. Bentuk ikatan totopong menunjukkan status sosial, cara mengikat totopong antara bangsawan dan rakyat berbeda. Setidaknya ada 22 cara mengikat totopong di kepala.
Beberapa model ikat misalnya yang paling sederhana yaitu model perengkos nangka. Biasanya dipakai oleh orangtua yang sedang tergesa-gesa, jadi cukup dibelitkan di kepala. Kalangan jawara atau jagoan, lain lagi ikat kepalanya, mereka menggunakan model barangbang semplak atau kuda ngencar (kuda keluar kandang).
Macam-macam nama totopong/ iket kepala:
Barangbang Semplak, iket ini seperti barangbang (dahan kelapa kering) yang patah tapi masih nempel dipohon. Culannya hampir menutupi mata. Bagian atas-tengahnya terbuka (terlihat rambut). Biasanya iket model ini dulu dipakai oleh para jawara atau warga padepokan pencak silat.
Julang Ngapak, bentuk iket kepala ini seperti sayap burung terbang. Dipakai oleh para orang tua.
Kekeongan (di Banten disebut borongsong keong), bentuknya mirip seperti keong.
Kuda Ngencar, iket yang culanya dibelakang, ngampleh (tergerai) ke bawah. begitu mau ke bagian ujung (melengkung) naik lagi ke atas.
Maung Heuay, bentuk iket ini seperti mulut harimau yang sedang menganga (terbuka).
Parekos Nangka, bentuk iket ini sangat sederhana (basajan). Biasanya dipakai oleh orang yang sedang tergesa-gesa.
Porteng, iket yang culanya berdiri di depan, dan ujung-ujung kainnya digulung ke belakang.
Talingkup, iket yang culanya di dahi sampai menutupi mata. Talingkup artinya bisa menutupi.
Iket kepala menyimbolkan :
Syahadat
Sholat
Zakat
Puasa
Naik Haji (bagi yang mampu)
Kemudian jika dilipat jadi segitiga yang menyimbolkan :
Alif
Lam
Mim
Kalau disatukan, dibaca jadi ALAM. Kenapa ALAM ? Padahal bisa saja ILMI, ILMU, ULUM atau ALIM? Tidak akan ada ILMI, ILMU, ULUM dan ALIM kalau tidak ada ALAM
Alam yang mana ?
Alam yang sudah, sedang dan akan terjadi.
yang diciptakan Allah SWT
yang dilakoni/dihuni oleh Nabi Adam As beserta keturunannya
yang diakhiri oleh Rosulullah SAW.
Lipat dalam beberapa lipatan yang rapih,besar kecilnya lipatan menyesuaikan besarnya pipi menyimbolkan :
TARTIB (mendahulukan yang memang harus didahulukan, mengakhirkan yang memang mesti diakhirkan) semua pekerjaan harus dilakukan secara dewasa dan sesuai kemampuan. Diikat ke kepala, agar kita INGAT:
1. dari mana
2. lagi Dimana
3. mau kemana
IKET kepala merupakan kekayaan budaya tutup kepala tatar Sunda. Selain iket, urang Sunda mengenal beragam tutup kepala lainnya: mahkota, tudung/cetok, dudukuy, kerepus/kopiah, peci, topi, dll. Tapi, yang masih erat dan langgeng dipakai dalam keseharian sampai sekarang – khususnya yang terdapat di masyarakat adat diantaranya Baduy, Ciptagelar, Kampung Naga, Kampung Adat Cikondang – Pangalengan dll).
Iket menurut Ralph L. Beals dan Harry Haijer dalam bukunya An Introduction to Antropology, tutup kepala merupakan bagian kelengkapan busana suatu kelompok, yang bahan dan modélnya sangat besar dipengaruhi oléh lingkungan dan budaya yang mempunyai fungsi praktis, éstétis, dan simbolis.
Fungsi praktis merupakan alat penutup dari panas, hujan, benda yang membahayakan, serta pembungkus barang dan makanan. Fungsi estetis sebagai aksesoris (life style). Sedangkan fungsi simbolis merupakan ciri untuk membedakan identitas dengan suku lain, serta terkandung nilai-nilai luhur kajembaran – keluhuran falsafah hidup.
Bukti masyarakat Sunda erat dengan tutup kepala yaitu adanya mahkota Binokasih peninggalan Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran, yang kemudian diwariskeun kepada Kerajaan Sumedanglarang (sekarang menjadi koléksi Museum Geusan Ulun di Sumedang). Sedangkan iket terdapat pada arca megalitik di Cikapundung (sekarang daerah Kebun Binatang, Jl. Tamansari Kota Bandung), yang bentuknya menyerupai kepala memakai iket.
Dalam kehidupan masyarakat Sunda bihari/dulu, kelengkapan busana, termasuk iket, merupakan pembeda antara golongan ménak/bangsawan dan cacah/ rakyat biasa. Khusus untuk iket, yang membedakannya adalah bahan, corak/motif, dan beulitan/rupa iket. Golongan ménak menggunakan bahan kain batik halus dengan motif tertentu – réréng dan gambir saketi – yang menunjukkan strata sosial tinggi (feodalis). Sedangkan golongan cacah biasanya menggunakan kain batik sisian/batik kasar dan polos hitam/ iket wulung.
