Sebagian besar pelaku UMKM masih mengandalkan metode konvensional seperti toko fisik dan promosi dari mulut ke mulut.
Langkah awal untuk memulai digitalisasi dapat dari pemasaran, membuat akun media sosial, membuka toko online, serta mempelajari dasar-dasar pemasaran digital seperti periklanan di TikTok dan Facebook.
Bahkan, beberapa perusahaan kini memiliki tim khusus untuk melakukan penjualan langsung (live selling) selama 24 jam di media sosial.
Langkah kedua adalah digitalisasi operasional, mulai dari pengelolaan inventaris, pencatatan penjualan, hingga laporan keuangan dan perpajakan.
Sayangnya, lebih dari 90% UMKM masih mengelola semua proses tersebut secara manual.
Padahal, banyak perangkat lunak gratis yang dapat meningkatkan efisiensi hingga lebih dari 50%.
Tantangan kedua adalah persaingan dengan perusahaan besar.
Kekalahan UMKM bukan semata karena modal yang kecil, tetapi karena tidak memiliki rencana bisnis yang matang.
Data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan hanya 17% UMKM yang mampu menyusun rencana bisnis formal.
Padahal, UMKM yang memiliki perencanaan yang jelas cenderung tumbuh lebih cepat dan mampu bersaing karena lebih adaptif dan lincah daripada perusahaan besar yang cenderung lambat berinovasi.
Tantangan ketiga adalah kesulitan dalam menangkap tren.
Adaptasi terhadap perubahan perilaku konsumen merupakan kemampuan penting.
Namun, hanya 10% UMKM yang menggunakan data seperti Google Trends atau Google Analytics, dan hanya 6% yang menerapkan strategi harga berbasis tren.
Kesimpulannya, UMKM perlu melakukan digitalisasi, menyusun rencana bisnis yang terstruktur, dan terus beradaptasi dengan tren pasar.
Melalui pendekatan ini, UMKM dapat bertahan dan berkembang secara berkelanjutan.






