Koran Mandala – Senja di Bandung seringkali menghadirkan perenungan. Di tengah hiruk pikuk kota yang terus berbenah, ada sebuah energi penantian yang mulai terasa. Dua bulan lagi, tepatnya pada 30 Juli hingga 2 Agustus 2025, kota ini akan mengukir sejarah sebagai tuan rumah perhelatan akbar: Indonesia International Conference on Anthroposophy (IICA) 2025. Ini bukan sekadar forum internasional biasa; ini adalah sebuah undangan terbuka untuk menyelami makna kesejahteraan yang sesungguhnya, dengan semangat “No One Left Behind – Towards Sustainable Well-Being”.
Untuk merasakan langsung denyut nadi persiapan dan visi besar di baliknya, kami berbincang dengan Iwan Kurniawan, salah satu anggota Steering Committee (SC) IICA 2025. Dengan antusiasme yang terpancar, ia membagikan kisah dan harapan di balik konferensi yang digadang-gadang akan menjadi titik tolak penting ini.
“Bayangkan sebuah ruang di mana seorang petani, seorang dokter, seorang seniman, seorang guru, dan seorang pebisnis bisa duduk bersama, bertukar pikiran dengan landasan pemahaman yang sama tentang hakikat manusia dan alam semesta. Itulah mimpi kami untuk IICA 2025,” buka Iwan Kurniawan. “Ini adalah upaya kami membangun jembatan—jembatan antara berbagai disiplin ilmu, jembatan antara Indonesia dan dunia, dan yang terpenting, jembatan antara idealisme dan langkah-langkah praktis.”
Antroposofi dan Falsafah Kebudayaan Nusantara: Merajut Kearifan untuk Zaman yang Membutuhkan Jiwa
Anthroposophy, gagasan yang digagas Rudolf Steiner di awal abad ke-20, menjadi benang merahnya. “Bagi banyak orang, Anthroposophy mungkin terdengar asing,” aku Iwan. “Tapi sesungguhnya, esensinya sangat dekat dengan kearifan lokal kita: melihat kehidupan secara holistik. Ia memberikan kita ‘kacamata’ dan ‘perkakas’ untuk memahami hubungan antara perkembangan individu, komunitas sosial, dan kelestarian alam. Dari sana lahir Pertanian Biodinamik, Pendidikan Waldorf, Kedokteran Anthroposophy, dan banyak lagi inisiatif nyata.”
Mengapa “No One Left Behind“?
Di tengah dunia yang berlari kencang, tema “No One Left Behind / Tidak Ada yang Tertinggal” menjadi sebuah jangkar moral. Iwan menjelaskannya dengan penuh perasaan. “Kita melihat pertumbuhan ekonomi yang luar biasa, tapi di saat yang sama, ketimpangan menganga. Kita menikmati kemajuan teknologi, tapi seringkali abai pada jeritan bumi dan kesehatan jiwa kita sendiri. Tema ini adalah pengingat sekaligus tantangan,” tegasnya. “Anthroposophy mengajak kita bertanya: Kesejahteraan seperti apa yang kita cari? ‘No One Left Behind’ adalah komitmen untuk membangun masa depan di mana setiap individu—dengan segala keunikannya—memiliki ruang untuk tumbuh, berkontribusi, dan merasakan makna hidup secara berkelanjutan.”
Bandung dan UNPAR: Rumah yang Ideal
Pemilihan Bandung sebagai lokasi bukan tanpa alasan. “Bandung ini ‘hidup’,” kata Iwan sambil tersenyum. “Kota ini punya spirit yang selaras dengan semangat kami. Komunitas kreatifnya berkembang pesat, inisiatif-inisiatif lokalnya kuat.”
Ia lalu menambahkan detail penting mengenai lokasi. “Dan kami sangat bersyukur bisa mengumumkan bahwa Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) akan menjadi rumah bagi IICA 2025,” ungkapnya. “Kami melihat adanya kesamaan visi dan semangat dengan UNPAR dalam hal pengembangan manusia seutuhnya dan kontribusi pada masyarakat. Kampus ini, dengan lingkungannya yang asri, fasilitasnya yang memadai, dan semangat akademisnya yang terbuka, kami rasa sangat mendukung atmosfer dialog dan pembelajaran yang ingin kami ciptakan.”
Selanjutnya, Deretan Pakar Dunia & Kekuatan Kolaborasi.