Namun, ada beberapa pertimbangan yang membuatnya memilih Harvard.
Pertama, pendekatan pembelajaran di Harvard lebih bersifat project-based, berbeda dengan pendekatan research-based di Cambridge.
Sebagai lulusan S1 dengan latar belakang riset, ia ingin mencoba pengalaman pembelajaran berbasis aksi, seperti membuat kurikulum, mengajar, dan menciptakan inovasi nyata.
Kedua, jurusan yang ia ambil di Harvard lebih relevan dengan cita-citanya dalam mengembangkan dunia pendidikan, terutama dari sisi teknologi dan inovasi.
Sementara jurusannya di Cambridge lebih berfokus pada kebijakan pendidikan.
Ketiga, beasiswa Chevening mengharuskan penerimanya kembali ke Indonesia selama dua tahun setelah lulus.
Saat itu, ia belum siap untuk kembali karena memiliki rencana melanjutkan karier dan studi di luar negeri.
Akhirnya, ia mengambil pinjaman dari kerabat untuk berangkat ke Harvard.
Kini, ia bekerja di Hong Kong sebagai management trainee di sektor pendidikan.
Apakah keputusan ini layak? Menurutnya, iya.
Ia merasa pengalaman profesional yang didapatkan saat ini sangat berharga dan sejalan dengan tujuan jangka panjang.
Keputusan ini bukan tanpa risiko, tetapi memilih jalan yang risikonya bisa ia hadapi dalam jangka panjang.
Itulah cerita dan alasan Zhafira Aqyla memilih kuliah S2 di Harvard tanpa beasiswa. ***