Koran Mandala – Program Studi Magister Studi Agama-Agama (SAA) UIN Sunan Gunung Djati Bandung menggagas sebuah kegiatan inspiratif bertajuk “Diskusi Film Hijrah Digital”, Kamis 15 Mei 2025, di Aula Selatan Pascasarjana. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) S2 SAA yang berkolaborasi dengan Bersinergi Institute.
Diskusi ini diikuti oleh 40 mahasiswa lintas jurusan UIN Bandung, dipandu oleh Neng Hannah, dan menghadirkan empat narasumber kompeten: Adhe Bhakti (peneliti dan aktivis deradikalisasi PAKAR), Yeni Huriani (akademisi kajian budaya dan agama), Dindin Solahudin (Wakil Direktur Pascasarjana), serta Taufiq Rahman (pakar studi Islam dan media).
Diskusi tersebut merupakan lanjutan dari pelatihan “Literasi Digital untuk Pemuda: Memahami Peran Artificial Intelligence (AI)” yang telah dilaksanakan Desember 2024 lalu. Para peserta sebelumnya dibekali keterampilan mengenali konten manipulatif berbasis AI, serta meningkatkan kewaspadaan terhadap disinformasi dan propaganda digital.
Dies Natalis ke-57, UIN Bandung Kukuhkan Diri Jadi Pusat Kajian Halal Nasional
Dalam kegiatan ini, film Hijrah Digital menjadi fokus utama. Film tersebut merupakan produksi Bersinergi Institute yang mengangkat kisah nyata Ning An-An Aminah, seorang penggerak dakwah pesantren Ar-Risalah Ciamis yang memanfaatkan media sosial sebagai sarana dakwah. Film ini tidak hanya menggambarkan transformasi personal, tetapi juga menghadirkan refleksi tentang dinamika keberagamaan generasi muda di era digital.
Ketua Prodi S2 SAA, Taufiq Rahman, menyampaikan bahwa kegiatan ini selaras dengan visi prodi dalam mempromosikan pendidikan perdamaian dan toleransi, terutama di Jawa Barat. Sementara itu, Anggi Putri Kumala dari Bersinergi Institute menjelaskan bahwa film ini adalah bagian dari proyek “Building Youth Resilience to AI-powered Disinformation and Propaganda”. Tujuannya adalah membangun ketahanan generasi muda terhadap konten menyesatkan yang marak di media sosial.
“Film adalah alat bantu ajar yang efektif,” ungkap Anggi. “Kami percaya bahwa visual dapat menyampaikan pesan edukatif lebih kuat, terutama bagi generasi muda.”
Wakil Direktur III Pascasarjana, Dindin Solahudin, membuka acara dengan menekankan pentingnya membangun narasi digital yang damai dan inklusif. Ia menyinggung perlunya “hijrah literatif”, yakni berpindah dari ketidaktahuan menuju pemahaman dalam memanfaatkan media sosial secara positif.
Adhe Bhakti menyoroti tantangan besar dari kehadiran deepfake dan hoaks yang bersumber dari orang terdekat. “Daya kritis bukan soal kepintaran, tapi kesadaran untuk memverifikasi informasi,” katanya.
Sementara itu, Yeni Huriani menyampaikan empat prinsip literasi digital: keterampilan teknologi, budaya digital yang baik, etika berbasis teologi, serta keamanan diri di ruang digital. Ia juga menegaskan pentingnya kehadiran perempuan dalam ruang publik digital. “Saya tidak setuju bahwa suara perempuan adalah aurat,” tegasnya. “Diam justru membuat perempuan terus menjadi korban kekerasan.”
Diskusi berlangsung dinamis dan reflektif. Mahasiswa tidak hanya mengkritisi konten film, tetapi juga menggali pemanfaatan teknologi digital sebagai alat dakwah yang kontekstual. Nyimas, salah satu peserta, menyampaikan pengalaman pribadi tentang tantangan menjadi pendakwah perempuan dalam budaya patriarkal. “Saya tetap akan berdakwah, meski dipandang negatif,” ungkapnya.
Empat mahasiswa lain juga membagikan refleksi personal, mulai dari pengalaman hampir menjadi korban investasi palsu, hingga perjuangan mengekspresikan dakwah perempuan di media sosial.
Diskusi ini bukan sekadar ruang akademik, tapi juga menjadi medan refleksi dan pemberdayaan. Melalui film Hijrah Digital, peserta diajak menelaah kembali makna hijrah di era digital—bukan hanya soal perpindahan identitas, tetapi juga cara berkomunikasi, berdakwah, dan merespons tantangan teknologi.
“Semoga ini menjadi langkah awal membangun narasi keagamaan yang lebih moderat dan damai,” pungkas Hannah, sang moderator.