KORANMANDALA.COM –Uji coba Traffic Light Artificial Intelligence (AI) di persimpangan Pasteur kembali memantik diskusi publik. Pemkot Bandung menaruh harapan besar pada teknologi ini untuk mengatur durasi lampu lalu lintas secara otomatis berdasarkan kepadatan kendaraan. Namun, di tengah euforia menuju “kota cerdas”, efektivitas sistem tersebut masih menjadi tanda tanya besar.
Selama hampir dua bulan berjalan, kamera di simpang Pasteur memindai antrean kendaraan dan mengatur waktu lampu merah–hijau secara adaptif. Meski begitu, Dinas Perhubungan Kota Bandung belum mampu menjawab pertanyaan paling krusial: apakah sistem ini betul-betul berdampak terhadap kelancaran lalu lintas?
Padahal, persoalan kemacetan Bandung bukan lagi soal kelalaian teknis, tetapi soal kompleksitas tata mobilitas kota yang menumpuk dari tahun ke tahun.
Pakar ITB Ragukan Dampak Signifikan Traffic Light AI
Pengamat transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Sony Sulaksono, dengan tegas menilai bahwa Traffic Light AI bukan terobosan baru. Teknologi lampu adaptif semacam ini, katanya, telah diterapkan sejak awal tahun 2000-an.
“Teknologinya bukan hal baru. Dampaknya terhadap pengurangan macet pun tidak besar karena akar masalahnya adalah jumlah kendaraan yang sudah melampaui kapasitas jalan,” ujarnya.
Sony mencontohkan titik-titik rawan seperti Pasteur dan Jalan Soekarno-Hatta. Di lokasi tersebut, volume kendaraan jauh melampaui kemampuan jalan untuk menampungnya. Lampu adaptif tidak bisa menyelesaikan persoalan struktural: ruang jalan yang tidak bertambah, sementara kendaraan terus bertambah.
Sony tidak menampik adanya manfaat, tapi hanya dalam kondisi tertentu. Pada jam-jam lengang, perubahan waktu lampu berdasarkan volume kendaraan dapat memperlancar arus.
Namun, gambaran berubah total pada jam sibuk—seperti Jumat sore atau Sabtu pagi—ketika Bandung berada pada puncak kepadatan.
“Kalau kondisinya sudah penuh, teknologi apapun tidak bisa menghilangkan macet. Paling mengurangi sedikit saja,” jelasnya.
Sejumlah pengamat bahkan menyebut uji coba ini seperti menambal ban bocor dengan plester: ada efeknya, tapi jauh dari cukup.
Sony menegaskan bahwa tidak ada teknologi lampu lalu lintas yang mampu mengimbangi pertumbuhan kendaraan pribadi. Solusinya, kata dia, hanya satu: masyarakat harus beralih ke transportasi umum.
Masalahnya, transportasi umum Bandung sendiri belum siap. Mulai dari trayek yang tidak merata, ketidakteraturan jadwal, hingga kenyamanan yang masih tertinggal jauh dari kebutuhan mobilitas harian warga.
“Sulit meminta masyarakat beralih kalau sistem transportasi umumnya belum memadai,” kata Sony.
Ia menambahkan, integrasi layanan, keamanan, dan ketepatan waktu adalah syarat minimal sebelum pemerintah berbicara tentang pembatasan kendaraan pribadi.
Seiring pertumbuhan populasi dan peningkatan jumlah kendaraan, Bandung menghadapi tekanan mobilitas yang semakin akut. Dalam konteks itu, Traffic Light AI tetap punya tempat sebagai alat bantu. Namun, menyandarkan harapan hanya pada teknologi adalah langkah yang terlalu naif.
Para ahli sepakat, solusi jangka panjang membutuhkan kebijakan yang berani:
- pembatasan kendaraan pribadi,
- peningkatan kualitas dan jangkauan transportasi umum,
- dan rekayasa lalu lintas lintas-sektor yang konsisten.
Tanpa itu, Traffic Light AI di Pasteur hanya akan menjadi inovasi setengah matang yang tidak mampu melawan kemacetan yang sudah kronis.






