Menurutnya, banyak warga yang belum memahami konsep pengelolaan sampah berkelanjutan. “Ada RW yang bilang takut dihukum kalau salah mengelola. Ini menunjukkan masih lemahnya edukasi publik soal sampah,” tambahnya.
Dua Proyek PLTSa Tak Kunjung Jalan
Farhan juga menyinggung mandeknya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang digagas sejak lama. Ia mengaku, sampai saat ini Kota Bandung masih terjebak dalam persoalan regulasi dan kepastian investasi.
“Hari ini secara legal, Kota Bandung punya dua kesepakatan dengan dua proyek PLTSa yang berbeda. Hebatnya, dua-duanya gak jalan,” ucap Farhan dengan nada satir.
Menurutnya, persoalan PLTSa tak hanya soal teknologi, tetapi juga model bisnis yang tidak efisien. “Harga listrik dari sampah itu 16 sen dolar per KWH, sementara batu bara hanya 3 sen. PLN tentu tidak mau membeli listrik semahal itu,” jelasnya.
Dorong Pengelolaan Sampah Berbasis RW
Sambil menunggu realisasi proyek besar tersebut, Pemkot Bandung kini berupaya memperkuat pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Targetnya, 30 persen sampah dapat selesai di tingkat RW.
“Kami sedang menyiapkan petugas pemilah di setiap RW. Tapi untuk menggaji 1.597 orang, dibutuhkan sekitar Rp26 miliar per tahun. Sementara APBD kita terbatas,” ujar Farhan.
Ia menjelaskan, dari total APBD Kota Bandung sebesar Rp7 triliun, hanya sekitar Rp300–400 miliar atau 4–5 persen yang dialokasikan untuk urusan persampahan.
“Ada yang bilang anggaran kita tidak berpihak pada lingkungan. Padahal, dari 36 urusan wajib dan pilihan, sampah sudah mengambil porsi hampir 20 persen di sektor tertentu,” tegasnya.
Eksperimen Mikroba untuk Sampah Organik
Sebagai langkah alternatif, Farhan tengah menguji coba penggunaan mikroba bioaktifator untuk mempercepat penguraian sampah organik. Inovasi ini diharapkan bisa menjadi solusi murah bagi pengelolaan sampah di tingkat RW.
“Kami sedang eksperimen. Mikroba ini bisa disemprot ke tumpukan sampah organik agar cepat terurai dan tidak menimbulkan bau. Kalau berhasil, ini bisa jadi senjata baru petugas di lapangan,” katanya.
“Pemimpin yang Membosankan Itu Baik”
Di akhir pembicaraan, Farhan menyampaikan pandangan menarik soal gaya kepemimpinan. Ia menilai, tata kelola yang baik memang sering dianggap “membosankan”, namun justru itulah yang menjadi fondasi pemerintahan yang stabil.
“The best leadership is a boring leadership. Pemimpin yang baik bukan yang viral di YouTube, tapi yang menata sistem dengan benar,” tegasnya.
Farhan mengakui bahwa Bandung masih jauh dari kata bebas sampah. Namun ia menekankan, kunci utama bukan pada teknologi, melainkan pada kesadaran publik, kepatuhan, dan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat.
“Sampah itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Ini soal budaya dan kesadaran kolektif. Kalau warganya sadar, baru kota ini bisa bersih,” tutupnya.






