KORANMANDALA.COM –Di tengah tekanan krisis sampah yang belum tuntas, Bandung mulai menatap solusi dari arah baru: inovasi dan kolaborasi. Melalui acara INNOVIBES Vol. 3 bertajuk “Sustainable Infrastructure & Community Resilience”, Institut Teknologi Bandung (ITB) membuka ruang dialog lintas sektor untuk menjawab tantangan lingkungan kota dengan pendekatan ilmiah dan partisipatif.
Digelar di kawasan Summarecon Bandung, acara yang diinisiasi oleh Direktorat Kawasan Sains dan Teknologi (DKST) ITB ini menjadi pertemuan antara riset akademik dan realitas lapangan ketika teknologi dari laboratorium dipertemukan dengan kebutuhan warga yang bergulat dengan persoalan sampah dan ketahanan lingkungan.
“Kami ingin inovasi ITB hadir di tengah masyarakat, menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar penelitian,” ujar Ir. R. Sugeng Joko Sarwono, Direktur DKST ITB. Menurutnya, kampus harus berperan sebagai jembatan antara ide dan kenyataan agar hasil riset tidak berhenti di meja akademik, tetapi berdampak langsung pada kehidupan warga.
ITB Tunjukkan Masa Depan Transportasi dan Energi Berkelanjutan di INNOVIBES 2
Krisis Sampah, Krisis Adaptasi Kota
Bandung, kota kreatif yang kini dibayangi tumpukan sampah dan penuh tekanan TPA, menjadi contoh nyata rapuhnya sistem perkotaan. Dalam kondisi ini, ketahanan kota diuji bukan oleh kekuatan beton, tetapi oleh kemampuan warganya untuk beradaptasi dan berinovasi.
Kesadaran itulah yang melatarbelakangi penyelenggaraan INNOVIBES kali ini. Melalui forum diskusi dan pameran karya riset, ITB berupaya menghadirkan pola pengelolaan sampah yang lebih tangguh, berkelanjutan, dan manusiawi.
Wali Kota Bandung Muhammad Farhan yang hadir sebagai pembicara menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah, kampus, dan masyarakat. Dalam talkshow bertema “Resiliensi Kota Bandung dalam Pengelolaan Sampah”, ia menyoroti kompleksitas persoalan sampah yang tak bisa diselesaikan hanya dengan kebijakan administratif.
“Hubungan kami dengan ITB sebagai mesin inovasi sudah kuat. Tantangannya kini adalah bagaimana menggerakkan partisipasi masyarakat. Pengelolaan sampah tidak bisa dilakukan dengan pendekatan parsial,” tegas Farhan.
Pernyataan itu menegaskan bahwa kebijakan berkelanjutan hanya bisa hidup jika diiringi inovasi sosial dan partisipasi warga.
Beberapa riset ITB dipamerkan sebagai bukti nyata penerapan ilmu untuk publik. Di antaranya MASARO (Manajemen Sampah Zero) teknologi pengolahan sampah yang mengubah limbah menjadi energi dan material bernilai ekonomi, serta Blockwood Modular House, sistem konstruksi ramah lingkungan yang efisien untuk kebutuhan perumahan cepat dan tanggap bencana.
“Inovasi bukan sekadar kecanggihan teknologi, tapi keberanian menjawab persoalan nyata,” ujar Joko Sarwono. Ia menambahkan, ITB Innovation Park akan menjadi living laboratory tempat ide diuji dan diperbaiki bersama masyarakat.
Selain pameran, sesi Community Podcast “Dari Kampus ke Komunitas: Inovasi untuk Pembangunan Berkelanjutan” menampilkan kisah para peneliti, startup, dan inovator yang berhasil membawa teknologi kampus ke tengah masyarakat.
Dalam sambutannya, Plh. Rektor ITB, Prof. Ir. Agus Jatnika Effendi, Ph.D., menekankan pentingnya kolaborasi multipihak. “Keberlanjutan tidak mungkin dicapai sendirian. Melalui INNOVIBES, kami ingin mengundang pemerintah, startup, investor, akademisi, hingga komunitas untuk bergerak bersama dalam inovasi hijau yang konkret,” ujarnya.
Menurut Agus, keberadaan ITB Innovation Park di Summarecon adalah langkah nyata agar riset tidak berhenti di jurnal, melainkan hidup di tengah masyarakat. “Infrastruktur berkelanjutan pada dasarnya adalah tentang manusia bagaimana teknologi memperkuat ketahanan sosial dan ekonomi warga,” tambahnya.
Bandung sebagai Laboratorium Hidup
Melalui INNOVIBES Vol. 3, ITB menegaskan perannya bukan hanya sebagai penghasil pengetahuan, tapi juga mitra transformasi sosial. Melalui DKST dan jejaringnya, kampus ini ingin menjadikan Bandung sebagai living lab kota tempat inovasi diuji, diterapkan, dan tumbuh bersama warganya.






