KORANMANDALA.COM –Rencana induk penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima (PKL) yang tengah digodok Pemerintah Kota Bandung kembali menuai sorotan.
Meski diklaim sebagai solusi peningkatan kualitas ruang publik, kebijakan ini dinilai berpotensi menimbulkan konflik sosial jika tidak dijalankan dengan pendekatan yang manusiawi.
Ketua Komisi III DPRD Kota Bandung, Agus Hermawan, menegaskan bahwa dewan mendukung penuh langkah Pemkot dalam menata kota.
Namun ia mengingatkan, penataan PKL bukan sekadar urusan menertibkan trotoar, melainkan menyangkut keberlangsungan hidup ribuan keluarga kecil di Kota Bandung.
“Penataan harus dilakukan dengan pendekatan persuasif agar tidak menimbulkan dampak sosial. Satu sisi kita bicara kebersihan dan ketertiban ruang publik, tapi di sisi lain ada perut yang harus diisi. Maka PKL perlu dibina, difasilitasi modal, dan diberi ruang usaha yang layak,” kata Agus dalam Seminar Kajian Masterplan Penataan dan Pemberdayaan PKL Kota Bandung yang digelar Bapperida di Hotel Mutiara, Bandung, Selasa (4/11/2025).
Agus menilai, rencana induk ini harus menjadi implementasi nyata dari Perda No. 11 Tahun 2024 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL, bukan sekadar dokumen formalitas.
“Kami di DPRD akan terus mengawal agar rencana induk ini tidak berhenti di seminar atau kajian. Harus ada langkah nyata di lapangan,” tegasnya.
Sementara itu, anggota Komisi III Nunung Nurasiah, S.Pd., menyoroti pentingnya sosialisasi menyeluruh agar kebijakan ini tidak salah tafsir di tingkat pelaksana.
“Sering kali kami menerima keluhan dari para PKL tentang penertiban yang dinilai sewenang-wenang. Karena itu, rencana induk ini harus disosialisasikan secara masif agar semua pihak memiliki kesamaan persepsi,” ujarnya.
“Penataan dan pemberdayaan harus berjalan seiring. Jangan sampai yang tertata hanya trotoarnya, tapi nasib pedagangnya justru terpinggirkan,” tambah Nunung.
Nada kritis juga datang dari Sekretaris Komisi III, H. Sutaya, yang menyoroti lemahnya keberlanjutan program penataan sebelumnya. Ia menilai Pemkot harus belajar dari proyek Teras Cihampelas yang awalnya digadang sebagai ikon PKL modern, namun kini banyak lapaknya terbengkalai.
“Kita sudah punya banyak contoh kegagalan. Teras Cihampelas dulu dibangun dengan konsep megah, tapi kini sepi. Pemerintah perlu mengevaluasi dan memastikan rencana baru ini punya indikator keberhasilan yang jelas dan bisa diukur,” tegasnya.
“Bandung bisa belajar dari Yogyakarta, di mana PKL Malioboro justru menjadi daya tarik wisata. Kenapa Bandung tidak bisa?” sambungnya.
Dari data tim penyusun Masterplan Penataan dan Pemberdayaan PKL Kota Bandung, sekitar 60 persen PKL sudah menempati lokasi sesuai peruntukan, sementara 40 persen lainnya masih beroperasi di area terlarang seperti trotoar dan badan jalan.
Kondisi ini menuntut peran aktif kewilayahan, khususnya di tingkat kelurahan, agar penataan berbasis data dan sesuai kondisi lapangan.
Rencana induk tersebut menargetkan terbentuknya PKL binaan yang mandiri, peningkatan migrasi PKL ke usaha formal, serta penguatan forum PKL di tiap kecamatan.
Keberhasilan program ini akan diukur dari peningkatan omzet, penurunan konflik ruang publik, dan tumbuhnya partisipasi aktif pelaku usaha kecil di ruang kota.
