Selain menjadi wadah ekspresi, sanggar juga mempererat hubungan antara relawan dan warga.
“Bagus sekali, saya pribadi belum pernah menemukan sanggar anak di tengah konflik. Sanggar ini mendekatkan kami dengan warga, bukan lewat orang dewasa tapi lewat anak-anak,” tuturnya.
Di Sukahaji, banyak anak yang terpaksa putus sekolah dan tidak memiliki akses pendidikan layak. Karena itu, sanggar hadir sebagai ruang belajar alternatif sekaligus tempat bermain di tengah ancaman penggusuran.
“Sanggar ini jadi ruang pendidikan di tengah sengketa. Anak-anak bisa bermain dan belajar tanpa merasa rumahnya dijadikan titik konflik,” jelas Acil.
Ia pun berharap publik lebih peduli terhadap persoalan penggusuran yang masih membayangi warga Sukahaji.
“Ruang hidup adalah hak semua orang. Anak-anak di sini hanya ingin bermain seperti anak-anak lain, tapi mereka diopresi oleh kekuatan yang lebih besar yang bahkan tidak mereka pahami,” pungkasnya.(Bagus/MG)






