KoranMandala.com – Dugaan gagal bayar yang melibatkan PT Bandung Daya Sentosa (BDS), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemkab Bandung, mulai menyeruak ke permukaan sebagai simbol rapuhnya sistem tata kelola keuangan daerah.
Skandal ini mencuat setelah eks Komisioner KPK Bambang Widjojanto mengungkapnya dalam sebuah podcast, memantik gelombang kritik dari publik dan kalangan hukum.
Setidaknya tiga pengusaha mengaku menjadi korban dengan total kerugian mencapai lebih dari Rp100 miliar. Mereka menduga telah terjebak dalam praktik pengadaan fiktif, Purchase Order (PO) palsu, hingga janji-janji pembayaran yang tak kunjung terealisasi.
Tak Lagi Gunakan Sportama, Persib Bandung Gandeng Kelme Sebagai Apparel Baru
Praktisi hukum sekaligus penggiat demokrasi, Januar Solehuddin, SHI., MH., C.Med., menyebut bahwa persoalan PT BDS tak bisa dipandang sebagai sengketa bisnis semata.
“Ini bukan soal tagihan yang belum dibayar. Ini krisis kepercayaan publik terhadap tata kelola BUMD dan lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah serta legislatif,” kata Januar dalam keterangannya, Selasa (29/7/2025).
Menurut dokumen yang diperoleh Januar, utang PT BDS tercatat mencapai Rp123,7 miliar. Salah satu korban, Yuan Nilasari, bahkan telah melaporkan direksi PT BDS ke polisi dengan dugaan penipuan senilai Rp33,1 miliar.
Sementara PT Triboga Pangan Raya memilih jalur hukum dengan mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Meski kerugian cukup masif, hingga kini belum tampak adanya langkah konkret dari Pemerintah Kabupaten Bandung sebagai pemegang saham mayoritas, maupun sikap tegas dari DPRD. Padahal, UU No. 23 Tahun 2014 mengamanatkan bahwa BUMD wajib dikelola secara profesional, transparan, dan akuntabel.
“Kalau diam saja, DPRD dan Pemkab seolah membiarkan uang rakyat dikelola tanpa tanggung jawab. Ini preseden buruk,” tegas Januar.