KoranMandala.com – Jauh di pelosok selatan Kabupaten Garut, terdapat satu titik yang semestinya menjadi simbol awal peradaban dan arah pembangunan: Titik Nol Kilometer Bungbulang. Namun, tak seperti kota-kota lain yang membanggakan keberadaan titik nol mereka dengan monumen, prasasti, atau tugu megah, Bungbulang justru menyimpan titik nolnya dalam keheningan… nyaris terlupakan, bahkan terkubur oleh waktu.
Padahal, Bungbulang adalah tanah tua yang sarat sejarah. Nama wilayah ini diyakini berasal dari pohon bungbulang (Premna tomentosa) yang dahulu tumbuh lebat di daerah tersebut. Ada pula yang menyebut kata “bungbulangan” dalam bahasa Sunda, berarti dataran luas—sejalan dengan bentang alam Bungbulang yang dikelilingi perbukitan dan hawa sejuk. Dataran tinggi ini dahulu termasuk wilayah Kerajaan Kandangwesi, kerajaan lokal yang dikenal ahli dalam teknologi senjata dan budaya spiritual di tanah Sunda bagian selatan.
Curah Hujan Tinggi, Tebing dan Serumpun Pohon Bambu Ambrol Tutupi Jalan Menuju Bungbulang Garut
Seiring berjalannya waktu, Bungbulang tak hanya menjadi sentra agraris dengan hasil seperti kopi arabika, jagung, dan padi, tetapi juga menyimpan kekayaan budaya yang tak ternilai: mulai dari dogdog lojor, pencak silat, hingga tradisi lisan yang terus hidup di tengah masyarakat yang masih menjaga kesantunan bahasa Sunda halus.
Namun, di balik seluruh potensi dan nilai historis itu, ada satu bagian dari Bungbulang yang nyaris luput dari perhatian: titik nol kilometernya.
Di Mana Titik Nol Itu Berada?
Menurut Oos Supyadin, pemerhati sejarah dan budaya yang juga pengurus Dewan Adat Kabupaten Garut (DAKG), titik nol kilometer merupakan acuan penting dalam pengukuran jarak wilayah. “Titik ini biasanya ditetapkan di pusat kota, atau kawasan penting secara administratif dan historis,” ujar Oos dalam keterangan tertulisnya, Jumat 25 Juli 2025.
Ia menyebut, seperti halnya di Sabang (Aceh) dan Yogyakarta, titik nol bukan hanya soal teknis pembangunan. Lebih dari itu, titik nol memiliki nilai simbolik, kultural, bahkan spiritual. “Tugu atau penanda titik nol bisa jadi identitas daerah dan daya tarik wisata,” tambahnya.
Dan di Bungbulang, titik nol itu konon berada tepat di atas makam keramat seorang tokoh leluhur Bungbulang bernama Dalem Raden Husna Wijaya, salah satu bagian dari susunan kerajaan Kandangwesi. Lokasinya? Tepat di area SDN 2 Bungbulang.
Makna yang Terkubur, Identitas yang Terlupa
Yang menyedihkan, keberadaan makam keramat itu—yang dulu ditandai dengan pohon bungbulang khas—kini nyaris tak dikenali. Tak ada papan penunjuk. Tak ada prasasti. Bahkan pohon penanda itu pun sudah lama tiada. Generasi muda Bungbulang pun banyak yang tidak lagi mengetahui bahwa di lokasi sekolah mereka, ada titik awal perjalanan Bungbulang sebagai sebuah wilayah bersejarah.
“Entah karena perkembangan zaman atau abainya dokumentasi, titik nol Bungbulang hilang dari ingatan kolektif,” tutur Oos lirih.
Potensi yang Perlu Diangkat Kembali
Bungbulang sejatinya adalah surga tersembunyi. Alamnya elok, dari Curug Saninten, Leuwi Jurig, hingga Pantai Ciwaru dan Puncak Guha, lengkap dengan kuliner khas seperti wajit dan opakan.
Namun, di tengah kekayaan ini, Bungbulang juga menghadapi tantangan berat: rawan bencana longsor, angka stunting anak yang cukup tinggi, dan hampir separuh penduduknya masuk kategori prasejahtera.
Maka mengangkat kembali keberadaan titik nol kilometer bukan sekadar menguak sejarah. Ia bisa menjadi simbol gerakan kebangkitan Bungbulang: dari edukasi, wisata sejarah, hingga identitas budaya.
Menghidupkan Kembali Sejarah yang Terlupakan
Mungkin sudah waktunya Bungbulang menghidupkan kembali warisannya yang lama terpendam. Menjadikan titik nol kilometer sebagai titik balik menuju masa depan. Membuat monumen kecil. Menulis ulang kisah Dalem Raden Husna Wijaya. Dan menjadikan SDN 2 Bungbulang bukan sekadar sekolah dasar, tapi penjaga awal peradaban.
Karena sebuah daerah yang tahu dari mana ia memulai, akan lebih siap menentukan ke mana ia harus melangkah.






