Sebelumnya, pengelolaan lebih tertib karena berada di bawah pengawasan lingkungan tertutup.
Namun, masalah utama tetap terletak pada rendahnya partisipasi warga dalam memilah sampah. Dari 42 RW yang membuang ke TPS Pahlawan, hanya sekitar 25 persen yang masih menjalankan prinsip Kangpisman.
“Sebagian besar warga campur semua sampahnya. Paling hanya delapan RW dari Kelurahan Neglasari yang masih rutin memilah organik, anorganik, dan residu,” ujarnya.
Meski aturan jelas menyatakan TPS hanya menerima sampah residu, Ujang mengaku tak punya kewenangan untuk menolak sampah tercampur. Dilema pun muncul antara menjalankan aturan atau bersikap humanis kepada warga.
“Harusnya kalau bawa sampah basah disuruh pulang. Tapi gimana, mereka datang jauh-jauh, masa kita usir? Ini karena pemerintah tidak memberi payung tegas di lapangan,” keluhnya.
Kondisi TPS Pahlawan mencerminkan lemahnya sinergi antara kebijakan dan implementasi. Tanpa pengawasan ketat dan penegakan aturan, program sebesar Kangpisman hanya menjadi jargon tanpa dampak nyata.
“Selama tidak ada ketegasan, ya begini terus. Program bagus, tapi pelaksanaannya kacau. Pemerintah tidak boleh hanya sosialisasi, harus berani bertindak,” pungkas Ujang.






