Dalam diskusi tersebut, para pembicara menekankan pentingnya pendekatan berbasis komunitas dan budaya lokal dalam membangun kesadaran risiko. Salah satu referensi yang diangkat adalah kearifan lokal Smong dari masyarakat Aceh, sebagai contoh edukasi mitigasi yang membumi dan partisipatif.
Menurut Seterhen Akbar, mitigasi bencana harus dimulai dari perubahan budaya sejak dini. “Ini bukan cuma soal simulasi tahunan atau sirene peringatan. Kita butuh membangun kultur sadar risiko, dimulai dari anak-anak. Kalau Bandung bisa jadi kota musik, kenapa tidak bisa jadi kota sadar bencana?” ujarnya.
Senada dengan itu, Adi Panuntun menekankan pentingnya narasi populer dalam kampanye mitigasi. “Edukasi bencana tak harus menakutkan. Bayangkan jika pesan kesiapsiagaan bisa masuk ke musik, seni jalanan, atau pop culture—itu akan lebih menggerakkan masyarakat,” tuturnya.
Zahra Khairunnisa menyoroti kesenjangan antara data ilmiah dan pengambilan kebijakan publik. Ia menilai bahwa tantangan utama bukan semata pada patahan geologis, melainkan juga pada “patahan komunikasi” antara ilmuwan dan pembuat kebijakan. “Perencanaan kota harus berani mengakomodasi skenario terburuk, bukan sekadar mengejar proyek jangka pendek,” kata Zahra.
Sementara itu, Atep menegaskan bahwa Sesar Lembang bukan sekadar wacana ilmiah, tetapi ancaman nyata yang membutuhkan ekosistem kesiapsiagaan. “Bencana tidak bisa diprediksi, tapi kita bisa bersiap. Edukasi, kolaborasi, dan partisipasi adalah kunci. Kita harus membentuk budaya baru yang lebih tangguh dan adaptif,” tegasnya.
Bandung saat ini tengah mengalami pertumbuhan pesat. Namun, tanpa perencanaan berbasis risiko, perkembangan tersebut bisa menimbulkan kerentanan baru. Forum Sesar Lembang Circle hadir sebagai ruang awal untuk menyatukan berbagai inisiatif menuju Bandung yang lebih resilien.
Kolaborasi lintas angkatan alumni ITB, komunitas kreatif, serta peneliti muda diharapkan dapat mendorong lahirnya program konkret seperti edukasi kebencanaan berbasis komunitas, pelibatan warga dalam simulasi kesiapsiagaan, hingga advokasi kebijakan tata ruang berbasis risiko.
“Bandung bukan hanya soal kreativitas, tapi juga soal ketahanan,” pungkas Atep. “Ini saatnya kita bicara, bergerak, dan saling menjaga.”
