Menurut Budi, sejumlah masalah tersebut muncul karena pemerintah tidak pernah menghitung secara kalkulatif kapasitas yang ada di satu daerah dan implikasinya.
Tidak ada yang menghitung penduduk ideal di sebuah daerah atau bahkan di level negara.
Selama tidak memperhitungkan secara detail kapasitas daerah terhadap jumlah penduduk, maka yang terjadi adalah situasi yang tidak terkontrol.
Wajar jika kemudian banyak kejadian yang muncuk tanpa terprediksi sebelumnya atau situasi yang tiba-tiba muncul di luar dugaan seperti banjir bandang.
“Ya, karena sawah-sawah menjadi rumah, menjadi tempat wisata, jadi pabrik. Akibatnya, air tidak bisa tertampung lagi. Kita itu katakan bolehlah mengonversi sawah menjadi perumahan, asalkan itu ada kompensasinya. Mungkin kalau begitu masih bisa terkendali,” Budi mencontohkan.
Guru besar bidang ilmu pemerintahan Universitas Diponegoro (Undip) ini kembali menegaskan bahwa masalah-masalah itu bermuara pada kependudukan. Karena itu, keberadaan Kementerian Kependudukan menjadi sangat strategis.
Jika sebelumnya BKKBN hanya berorientasi pada pengendalian penduduk dan keluarga berencana, kini meluas menangani masalah kependudukan.
“Berapa jumlah penduduk yang lahir dan apa antisipasi pemerintah terhadap penduduk yang lahir tersebut? Kalau tidak dilakukan antisipasi, maka masalah yang kemudian akan muncul. Misalnya kita menghitung kalkulasi kebutuhan penduduk terhadap kesehatan. Kalau menurut rasio dari dunia kesehatan, misalnya puskesmas. Satu puskesmas itu idealnya hanya melayani maksimal itu 10 ribu penduduk. Nah, kalau satu daerah itu muncul tambahan penduduk katakanlah 20 ribu, berarti daerah itu harus bisa menyiapkan dua puskesmas,” urai Budi.
Tidak idealnya rasio jumlah penduduk terhadap puskesmas tersebut kemudian memicu panjangnya antrean pasien.
Layanan yang mestinya bisa dilakukan dalam waktu beberapa jam molor menjadi 2-3 hari atau lebih lama. Akibatnya, penyakit yang tadinya seketika bisa disembuhkan, karena harus menunggu 2-3 hari akibat pelayanan puskesmas kurang, penyakit pun bertambah atau mungkin malah memicu komplikasi.
Apa konsekuensi bagi Balai Diklat? Budi menegaskan Balai Diklat KKB harus mampu meningkatkan _skill_ petugas lini lapangan atau bahkan seluruh pegawai.
Balai Diklat harus memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menjadikan tenaga lini lapangan sebagai pendamping, konsultan, instruktur, atau _role model_ yang bisa ditanya oleh masyarakat, ditanya oleh pemerintah daerah.
“Tenaga lini lapangan kita sudah harus mulai di-_training_ tentang pendidikan dan perencanaan pembangunan berbasis perpendudukkan. Pendidikan juga tidak hanya diberikan kepada petugas atau pejabat kita. Kita harus mampu melatih kepala desa, mahasiswa, dosen, termasuk wartawan,” tegas Budi.